Saya akan mengkritik puisi sastrawan Indonesia, Taufik Ismail dengan Judul Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia. Taufik Ismail dikenal sebagai tokoh pelopor angkatan 66. Tokoh yang berulang tahun 25 Juni nanti merupakan tokoh yang banyak gelar dan penghargaan. Puisi-puisinya penuh dengan kritik yang tajam dan jujur menceritakan sesuatu yang sedang terjadi sesuai dengan keadaan semestinya atau fakta. Seperti puisinya dengan judul Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia penuh dengan kritikan, marah, dan kekecewaan terhadap sebuah sistem yang sedang terjadi. Dalam puisi tersebut Taufik Ismail mencurahkan keresahan yang dirasakannya. Taufik Ismail menceritakan secara rinci dan gamblang. Lihat saja kutipan puisi dibawah ini:
I
Ketika di Pekalongan, SMA kelas tiga
Ke Wisconsin aku dapat beasiswa
Sembilan belas lima enam itulah tahunnya
Aku gembira jadi anak revolusi Indonesia
Negeriku baru enam tahun terhormat diakui dunia
Terasa hebat merebut merdeka dari Belanda
Sahabatku sekelas, Thomas Stone namanya,
Whitefish Bay kampung asalnya
Kagum dia pada revolusi Indonesia
Dia mengarang tentang pertempuran Surabaya
Jelas Bung Tomo sebagai tokoh utama
Dan kecil-kecilan aku nara-sumbernya
Dadaku busung jadi anak Indonesia
Tom Stone akhirnya masuk West Point Academy
Dan mendapat Ph.D. dari Rice University
Dia sudah pensiun perwira tinggi dari U.S. Army
Dulu dadaku tegap bila aku berdiri
Mengapa sering benar aku merunduk kini
Tahun-tahun yang penuh rasa bangga diungkapkan oleh penyair pada kutipan puisi tersebut. Bagaimana tentang bangga menjadi putra Indonesia. Negara yang baru saja mewujudkan merdeka diatas kakinya sendiri dan Ia mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan pendidikan. Namun, hal itu menjadi titik balik. Seiring berjalannya waktu rasa bangga itu sedikit mulai kehilangan cahayanya.
Dalam kutipan tersebut penyair menggambarakan tentang kebanggaannya akan Negaranya yang mampu merdeka dikakinya sendiri. Tentu saja kita dapat memahaminya. Bagaimana bangsa ini terus berjuang melawan penjajahan yang sedang dialami. Banyak sekali korban dan pengorbanan seluruh rakyat untuk melakukan perjuangan tersebut. Hal itu tidak sia-sia, bangsa yang besar ini mampu untuk merdeka diatas kakinya sendiri. Apakah Merdeka ialah sebuah tujuan? Bisa dikatakan iya bisa juga dikatan merdeka adalah awal untuk memulai yang baru. Intinya bagaimana kita mengisi setelah merdeka? Tentunya terus berjuang, meskipun banyak sekali halangan untuk menuju cita-cita sesuai dengan Pancasila.
II
Langit langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak
Hukum tak tegak, doyong berderak-derak
Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, Lebuh Tun Razak,
Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza
Berjalan aku di Dam, Champs Elysees dan Mesopotamia
Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata
Dan kubenamkan topi baret di kepala
Malu aku jadi orang Indonesia.
III
Di negeriku, selingkuh birokrasi peringkatnya di dunia nomor
satu,
Di negeriku, sekongkol bisnis dan birokrasi berterang-terang
curang susah dicari tandingan,
Di negeriku anak lelaki anak perempuan, kemenakan, sepupu
dan cucu dimanja kuasa ayah, paman dan kakek secara
hancur-hancuran seujung kuku tak perlu malu,
Di negeriku komisi pembelian alat-alat besar, alat-alat ringan,
senjata, pesawat tempur, kapal selam, kedele, terigu dan
peuyeum dipotong birokrasi lebih separuh masuk
kantung jas safari,
Di kedutaan besar anak presiden, anak menteri, anak jenderal,
anak sekjen dan anak dirjen dilayani seperti presiden,
menteri, jenderal, sekjen, dan dirjen sejati, agar
orangtua mereka bersenang hati,
Di negeriku penghitungan suara pemilihan umum sangat-
sangat-sangat-sangat-sangat jelas penipuan besar-
besaran tanpa seujung rambut pun bersalah perasaan,
Di negeriku khotbah, surat kabar, majalah, buku dan
sandiwara yang opininya bersilang tak habis dan tak
putus dilarang-larang,
Di negeriku dibakar pasar pedagang jelata supaya berdiri pusat
belanja modal raksasa,
Di negeriku Udin dan Marsinah jadi syahid dan syahidah,
ciumlah harum aroma mereka punya jenazah, sekarang
saja sementara mereka kalah, kelak perencana dan
pembunuh itu di dasar neraka oleh satpam akhirat akan
diinjak dan dilunyah lumat-lumat,
Di negeriku keputusan pengadilan secara agak rahasia dan tidak
rahasia dapat ditawar dalam bentuk jual-beli, kabarnya
dengan sepotong SK suatu hari akan masuk Bursa Efek
Jakarta secara resmi,
Di negeriku rasa aman tak ada karena dua puluh pungutan, lima
belas ini-itu tekanan dan sepuluh macam ancaman,
Di negeriku telepon banyak disadap, mata-mata kelebihan kerja,
fotokopi gosip dan fitnah bertebar disebar-sebar,
Di negeriku sepakbola sudah naik tingkat jadi pertunjukan teror
penonton antarkota cuma karena sebagian sangat kecil
bangsa kita tak pernah bersedia menerima skor
pertandingan yang disetujui bersama,
Di negeriku rupanya sudah diputuskan kita tak terlibat Piala
Dunia demi keamanan antarbangsa, lagi pula Piala
Dunia itu cuma urusan negara-negara kecil karena Cina,
India, Rusia dan kita tak turut serta, sehingga cukuplah
Indonesia jadi penonton lewat satelit saja,
Di negeriku ada pembunuhan, penculikan dan penyiksaan rakyat
terang-terangan di Aceh, Tanjung Priuk, Lampung, Haur
Koneng, Nipah, Santa Cruz, Irian dan Banyuwangi, ada pula
pembantahan terang-terangan yang merupakan dusta
terang-terangan di bawah cahaya surya terang-terangan,
dan matahari tidak pernah dipanggil ke pengadilan sebagai
saksi terang-terangan,
Di negeriku budi pekerti mulia di dalam kitab masih ada, tapi dalam
kehidupan sehari-hari bagai jarum hilang menyelam di
tumpukan jerami selepas menuai padi.
Rasa malu sebagai orang Indonesia itu muncul. Segalanya telah rusakk termasuk akhlak rusak pula. Semua rusak, entah itu hukum, sepak bola, dan lainnya (terlalu banyak hal yang tidak sesuai dengan semestinya). Suatu keadaan seusai kemerdekaan yang jauh dari cita-cita para pahlawan dahulu. Suatu keadaan yang amat jauh dari nilai-nilai Pancasila. Sebuah sistem pemerintahan buruk. Malu, malulah sebagai orang Indonesia yang gagah berani mengusir penjajah. Malulah sebagai Orang Indonesia yang punya pedoman hidup bernegara yaitu Pancasila.
Pada kutipan puisi di atas itulah yang ingin saya sampaikan. Bagaimana kita mengisi setelah merdeka. Dalam kutipan itu sendiri penyair menggambarkan betapa bobroknya sebuah sistem yang ada. Jika ditarik lagi pada tahun puisi ini dibuat yakni pada tahun 1998. Sudah pasti dapat kita pahami kenapa penyair begitu marah, kecewa, dan malu sebagai seorang Indonesia. Pada masa itu meruoakan sebuah sistem kuasa yang begitu rusak dan bobrok, tidak semuanya begitu. Nemun, hal itu bukanlah sebuah dusta. Kerusakan dan kebobrokan itu tidak bisa dilimpahkan ke satu orang. Semuanya harus bertanggung jawab, karena semua telah kehilangan kesadaran akan nilai-nila dan cita-cita bangsa ini.
Jika dilihat dari kacamata hari ini apakah kerusakan dan kebobrokan semua itu hilang? Tidak, tidak sama sekali. Lihat saja kemarin seorang koruptor yang dipenjara 10 tahun malah jadi 4 tahun. Hal yang begitu menjijikan, seolah-olah memberi kesan “Asal Sogeh hukuman bisa ringan”. Walaupun alasan sederhana hal itu dilakukan yaitu karena perempuan harus diperhatikan. Halla mbelgendes. Sedangkan RUU PKS sendiri tidak kunjung disahkan. Masih banyak? Tentu masih. Takut UU ITE hehehe.....
Hal yang menarik dari puisi ini ialah menggunakan dua latar waktu 1956 dan 1998. Kalau bisa dikatakan ini merupakan pengalaman kehidupan yang dialami oleh penyair yakni Orde Lama dan Orde baru. Dalam dua masa itu jelas penyair tentunya mengalami keadaan yang berbeda. Puisi tersebut adalah salah satu pengalaman yang dialami oleh penyair. bahasa yang digunakan sendiri dalam puisi cenderung mudah dipahami. Namun ada beberapa kata yang harus disertai google untuk mengartikannya seperti mesopotamia dan sebagainya.
IV
Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak
Hukum tak tegak, doyong berderak-derak
Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, Lebuh Tun Razak,
Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza
Berjalan aku di Dam, Champs Elysees dan Mesopotamia
Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata
Dan kubenamkan topi baret di kepala
Malu aku jadi orang Indonesia.
1998
Komentar
Posting Komentar