"DURSASANA PELIHARAAN ISTANA”
Karya: M. Shoim Anwar
Dursasana adalah durjana peliharaan istana
tingkahnya tak mengenal sendi-sendi susila
saat masalah menggelayuti tubuh negara
cara terhormat untuk mengurai tak ditemukan jua
suara para kawula melesat-lesat bak anak panah
suasana kelam bisa meruntuhkan penguasa
jalan pintas pun digelindingkan roda-roda gila
dursasana diselundupkan untuk memperkeruh suasana
kayak jaka tingkir menyulut kerbau agar menebar amarah
atau melempar sarang lebah agar penghuninya tak terima
lalu istana punya alasan menangkapi mereka
akal-akalan purba yang telanjang menggurita
saat panji-panji negara menjadi slogan semata
para ulama yang bersila di samping raja
menjadi penjilat pantat yang paling setia
sambil memamerkan para pengikut yang dicocok hidungnya
Lihatlah dursasana
di depan raja dan pejabat istana
lagak polahnya seperti paling gagah
seakan hulubalang paling digdaya
memamerkan segala kebengalannya
mulut lebar berbusa-busa
bau busuk berlompatan ke udara
tak bisa berdiri tenang atau bersila sahaja
seperti ada kalajengking mengeram di pantatnya
meracau mengumbar kata-kata
raja manggut-manggut melihat dursasana
teringat ulahnya saat menistakan wanita
pada perjudian mencurangi tahta
sambil berpikir memberi tugas selanjutnya
Apa gunanya raja dan pejabat istana
jika menggunakan jasa dursasana untuk menghina
merendahkan martabat para anutan kawula
menista agama dan keyakinan para jamaah
dursasana dibayar dari pajak kawula dan utang negara
akal sehat tersesat di selokan belantara
otaknya jadi sebatas di siku paha
digantikan syahwat kuasa menyala-nyala
melupa sumpah yang pernah diujarnya
para penjilat berpesta pora
menyesapi cucuran keringat para kawula
Apa gunanya raja dan pejabat istana
jika tak mampu menjaga citra negara
menyewa dursasana untuk menenggelamkan kawula
memotong lidah dan menyurukkan ke jeruji penjara
berlagak seperti tak tahu apa-apa
menyembunyikan tangan usai melempar bara
ketika angkara ditebar dursasana
dibiarkan jadi gerakan bawah tanah
tak tersentuh hukum karna berlindung di ketiak istana
Dursasana yang jumawa
di babak akhir baratayuda
masih juga hendak membunuh bayi tak berdosa
lalu pada wanita yang pernah dinista kehormatannya
ditelanjangi dari kain penutup tubuh terhormatnya
ingatlah, sang putra memendam luka membara
dia bersumpah akan memenggal leher dursasana hingga patah
mencucup darahnya hingga terhisap sempurna
lalu si ibu yang tlah dinista martabatnya
hari itu melunasi janjinya: keramas dengan darah dursasana
Surabaya, 2021
Dalam puisi di atas dengan judul “Dursasana Peliharaan Istana”, pengarang menggunakan nama salah satu tokoh dalam cerita Mahabarata yaitu Dursasana. Dursasana tokoh antagonis yang dikenal sebagai Korawa, putra kedua dari Drestarasta dan Dewi Gandari. Dursasana digambarkan sebagai seseorang yang durjana atau penjahat.
Puisi tersebut bercerita tentang Mahabarata bahwa Dursasana adalah orang yang kasar, sombong, tidak memiliki tata krama, dan tidak bisa diatur. Dalam cerita tersebut Dursasana melakukan penistaan terhadap wanita yang ditarik paksa kemudian menelanjangkan didepan orang banyak. Wanita yang diperlakukan seperti itu bernama Drupadi suami dari para Pandawa. Suami Drupadi mungkar dengan kejadian tersebut sampai ia bersumpah bahwa ia tidak akan menyanggul rambutnya sampai ia mandi keramas darah Dursasana. Pada saat perang Baratayudha Dursasana dibunuh Bima Pandawa dengan mematahkan kedua tangannya kemudian darah Dursasana diberikan ke Drupadi untuk menjalankan sumpahnya dengan mandi keramas darah Dursasana.
Puisi ini terkait dengan kehidupan sekarang. Dursasana yang miliki tubuh gagah selalu menyombongkan diri, menista wanita dan mengadu domba orang lain. Sama halnya seperti orang yang telah memiliki kekuasaan dan kaya akan memperbudak orang yang lemah dan orang miskin agar semua keinginannya tercapai. Dengan nama Dursasana pada sansekerta yaitu duh dan sasana secara harfiah Dussasana yang memiliki arti sulit dikuasi dan sulit diatasi.
Kelebihan dalam puisi tersebut pemilihan kata mudah dipahami dan bisa dikaitkan dengan cerita-cerita lain.
Kekurangan dalam puisi tersebut kata-katanya sulit dipahami bagi orang awam sehingga harus membaca berulang-ulang.
Komentar
Posting Komentar